Sabtu, 11 Mei 2024

Seribu Langkah yang Belum Usai

 

Seribu Langkah yang Belum Usai
Sebuah refleksi dari perjalanan literasi yang masih diperjuangkan-

Oleh : Nuril Azizah

Sabtu, 16 Desember 2024

 


“...tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati... -kata Arai pada Ikal dalam buku Sang Pemimpi halaman 143 karya Andrea Hirata

Mantra  ini, salah satu yang menemani saya menapaki  mimpi-mimpi saya hingga hari ini. 

Saya pernah diberkahi untuk dapat belajar di negeri orang, 11.000 mil jauhnya dari rumah. Belajar bertetangga di negeri tetangga yang bahasanya sama sekali asing untuk saya, menyentuh dinginnya salju untuk pertama kalinya atau merasakan teriknya musim panas yang bahkan jauh lebih panas dari kampung halaman saya serta melihat dedaunan mapel yang hijau berubah menjadi oranye saat musim gugur tiba. Ah.. yang paling menyenangkan, melihat hamparan bunga Crocus berwarna ungu saat musim semi tiba. Semuanya, selain berkah dari doa dan ridho orang tua serta guru, juga berkah dari sebuah novel karya Ahmad Fuadi  yang saya baca 12 tahun yang lalu, tepatnya ketika saya duduk di kelas 1 SMP. 

Saya ingat betul, ketika pendaftaran SD  tahun 2004 silam, saya hampir ditolak oleh pihak sekolah, selain karena umur saya yang masih dibawah 7 tahun, saya juga belum mampu membaca dan menghitung dengan baik dan benar. Namun, berkat Ibu saya yang membujuk dan meyakinkan bapak ibu guru bahwa saya akan lancar membaca setelah satu semester, akhirnya saya lolos juga. Belajar membaca bukanlah hal yang mudah bagi saya, saya seringkali mendapat pecutan ringan lantaran malas belajar atau malas membaca soal uraian yang panjang dan justru menjawab soal dengan asal. Alhasil saya seringkali mendapat teguran dari guru-guru. Singkat cerita, saya ingat waktu itu kelas 5 SD. Saya sedang bermasalah dengan teman sekelas dan membuat saya tidak punya teman bermain selama kurang lebih satu bulan. Alhasil saya sering menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan sekolah yang usang dan berdebu. Saya menemukan satu buku cerita pertama yang saya khatamkan saat SD, saya tidak ingat judulnya namun kisahnya tentang seorang anak yang mulai beternak saliva walet dan dijadikan sumber penghasilannya. Bagi saya itu keren sekali, untuk seukuran anak SMP, tokoh utama dalam kisah tersebut mampu membuat usaha yang menguntungkan. Sejak itu, saya mulai banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku cerita. 

Mengingat perpustakaan sekolah saya yang usang dan berdebu, dan sebab saya tak mampu membeli buku-buku dengan uang saku saya, akhirnya saya berinisiatif pindah lapak ke perpustakaan daerah kota Bondowoso. Perpustakaannya juga tak kalah usang dan berdebu, yang menandakan jarang sekali masyarakat kota Bondowoso datang menjamah buku-buku disana. Namun koleksi bukunya jauh lebih baik dari perpustakaan di sekolah saya. Saat itu, saya sudah naik kelas 7 SMP. Saya menemukan novel pertama yang saya baca, dan menjadikan saya berani bermimpi sejauh ini. Novel karya Ahmad Fuadi, yang berjudul Negeri 5 Menara, yang merupakan buku  Trilogi dari 2 judul lainnya yang saya khatamkan setelahnya, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara. Dalam novel pertamanya ini mengisahkan seorang anak bernama Alif yang sangat brilian dan cerdas, namun melanjutkan SMA ke pesantren yang notabennya belajar agama. Namun, alih-alih menjadi kolot dan jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan, Alif jadi banyak belajar bahasa asing, menulis, membaca kitab serta khasanah kehidupan yang lain. “Man Jadda wa Jada”, pepatah arab yang tertulis di novel itu. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka Ia akan berhasil. Selain itu, dalam novel itu menceritakan Alif yang berkeinginan kuat untuk menjelajah dunia dengan bekal yang Ia dapat dari berbahasa asing.Hal ini yang kerap saya ingat dan menjadi panutan saya bahwa orang kecil seperti saya pun boleh bermimpi jauh dan tinggi.

Saya yang masih SMP waktu itu, sangat mudah terpengaruh dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan SMA di Pesantren juga. Cukup klise memang, namun hal itu yang terjadi pada saya. Saya akhirnya belajar bahasa asing, melalui percakapan sederhana dan kegiatan membaca. Selain itu, saya juga akhirnya sedikit kecanduan membaca kisah-kisah spektakuler dari penulis-penulis ternama lainnya. Saya selalu menyempatkan diri untuk datang ke perpustakaan kota maupun perpustakaan sekolah. Saya mengingat buku-buku yang asik saya baca, kisah Tambelo Kembalinya Si Burung Camar karya Redhite K, atau sekuel kisah cinta Aisyah dan Fahri dalam Novel Ayat-Ayat Cinta karya Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy), petualangan Raib dan sahabatnya di dunia paralel  dalam sekuel Bumi karangan Tere Liye, perjalanan panjang Agustinus Wibowo di negara pecahan Uni Soviet dalam bukunya yang bertajuk Garis Batas atau bahkan sekedar koran-koran harian yang kunikmati di majalah dinding sekolah. Selain itu, saya juga banyak menyukai buku-buku sejarah, khususnya sejarah manusia purba seperti buku karangan Y.N. Harari yang berjudul Sapiens: A Brief History of Humankind, atau sejarah kebudayaan islam serta sejarah kerajaan Nusantara. Kerajaan Majapahit adalah kisah favorit yang paling saya gemari.  Dari rangkaian buku yang mencekoki isi kepala saya, saya jadi berangan untuk menjadi penulis. 

Saya awali dunia kepenulisan saya dengan menulis buku diary sejak masa SMA. Saya menyimpan semua buku diary tersebut hingga hari ini. Saat ini, jika membaca ulang tulisan-tulisan diary saya ketika masa remaja itu,  saya bisa tersenyum geli mengingat tingkah saya yang banyak gaya. Selain menulis diary, akhirnya saya juga memulai menulis cerpen-cerpen sederhana, artikel, karya ilmiah, essai dan lain-lainnya. Berkat pribadi saya yang sedikit melankolis serta latar belakang pendidikan sains yang pernah saya tempuh, saya bersama dua rekan saya pernah berhasil meraih juara esai internasional yang bertajuk Love Story in 2050, The fight against Alzheimer’s disease with CRISPR-Cas9. Is it possible?. Memang bukan hal yang sangat spektakuler, namun sangat berarti bagi perkembangan menulis saya. Belakangan ini saya mencoba untuk mengelola blog pribadi saya bertajuk pengalaman-pengalaman pribadi semasa sekolah hingga saat ini, pengetahuan sains sederhana, pembelajaran Bahasa Inggris, serta cerita bersambung. Dalam salah satu mata kuliah di program profesi guru yang saya tempuh juga memberikan ruang untuk menuliskan hasil pemikirannya dalam sebuah blog. Saya cukup senang dengan hal itu karena memberikan ruang bagi saya untuk mengasah kemampuan saya. 

Melompat ke masa kini, sore ini di beranda rumah saya, saya kembali membuka diary saya yang saya tulis 10 tahun silam saat saya SMA. Saya tuliskan besar-besar di buku itu tentang keinginan saya untuk menjadi seorang penulis buku. Perjalanan panjang yang harus saya akui bahwa saya belum memberikan cukup ruang bagi diri saya untuk mengembangkan potensi menulis saya. Hal ini terbukti hingga hari ini saya belum berhasil menulis buku. Ah, sangat disayangkan. Namun hal ini menjadi penyemangat kembali bagi saya untuk meneruskan mimpi saya itu.

 


4. Germany Series : Second Batch!

Second Batch : Student Exchange 2018 Aku tidak lolos seleksi student exchange itu, dan teman sekelasku, Khalid, dia lolos! ah itu... sedikit...