Seribu Langkah yang Belum Usai
Sebuah refleksi dari perjalanan
literasi yang masih diperjuangkan-
Oleh : Nuril Azizah
Sabtu, 16 Desember 2024
“...tanpa mimpi, orang seperti
kita akan mati... -kata Arai pada Ikal dalam buku Sang Pemimpi halaman 143
karya Andrea Hirata
Mantra ini, salah satu yang
menemani saya menapaki mimpi-mimpi saya hingga hari ini.
Saya pernah diberkahi untuk dapat
belajar di negeri orang, 11.000 mil jauhnya dari rumah. Belajar bertetangga di
negeri tetangga yang bahasanya sama sekali asing untuk saya, menyentuh
dinginnya salju untuk pertama kalinya atau merasakan teriknya musim panas yang
bahkan jauh lebih panas dari kampung halaman saya serta melihat dedaunan mapel
yang hijau berubah menjadi oranye saat musim gugur tiba. Ah.. yang paling
menyenangkan, melihat hamparan bunga Crocus berwarna ungu saat musim semi tiba.
Semuanya, selain berkah dari doa dan ridho orang tua serta guru, juga berkah
dari sebuah novel karya Ahmad Fuadi yang saya baca 12 tahun yang lalu,
tepatnya ketika saya duduk di kelas 1 SMP.
Saya ingat betul, ketika
pendaftaran SD tahun 2004 silam, saya hampir ditolak oleh pihak sekolah,
selain karena umur saya yang masih dibawah 7 tahun, saya juga belum mampu
membaca dan menghitung dengan baik dan benar. Namun, berkat Ibu saya yang membujuk
dan meyakinkan bapak ibu guru bahwa saya akan lancar membaca setelah satu
semester, akhirnya saya lolos juga. Belajar membaca bukanlah hal yang mudah
bagi saya, saya seringkali mendapat pecutan ringan lantaran malas belajar atau
malas membaca soal uraian yang panjang dan justru menjawab soal dengan asal.
Alhasil saya seringkali mendapat teguran dari guru-guru. Singkat cerita, saya
ingat waktu itu kelas 5 SD. Saya sedang bermasalah dengan teman sekelas dan
membuat saya tidak punya teman bermain selama kurang lebih satu bulan. Alhasil
saya sering menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan sekolah yang usang dan
berdebu. Saya menemukan satu buku cerita pertama yang saya khatamkan saat SD,
saya tidak ingat judulnya namun kisahnya tentang seorang anak yang mulai
beternak saliva walet dan dijadikan sumber penghasilannya. Bagi saya itu keren
sekali, untuk seukuran anak SMP, tokoh utama dalam kisah tersebut mampu membuat
usaha yang menguntungkan. Sejak itu, saya mulai banyak menghabiskan waktu untuk
membaca buku cerita.
Mengingat perpustakaan sekolah
saya yang usang dan berdebu, dan sebab saya tak mampu membeli buku-buku dengan
uang saku saya, akhirnya saya berinisiatif pindah lapak ke perpustakaan daerah
kota Bondowoso. Perpustakaannya juga tak kalah usang dan berdebu, yang
menandakan jarang sekali masyarakat kota Bondowoso datang menjamah buku-buku
disana. Namun koleksi bukunya jauh lebih baik dari perpustakaan di sekolah
saya. Saat itu, saya sudah naik kelas 7 SMP. Saya menemukan novel pertama yang
saya baca, dan menjadikan saya berani bermimpi sejauh ini. Novel karya Ahmad
Fuadi, yang berjudul Negeri 5 Menara, yang merupakan buku Trilogi dari 2
judul lainnya yang saya khatamkan setelahnya, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara.
Dalam novel pertamanya ini mengisahkan seorang anak bernama Alif yang sangat
brilian dan cerdas, namun melanjutkan SMA ke pesantren yang notabennya belajar
agama. Namun, alih-alih menjadi kolot dan jauh dari perkembangan ilmu
pengetahuan, Alif jadi banyak belajar bahasa asing, menulis, membaca kitab serta
khasanah kehidupan yang lain. “Man Jadda wa Jada”, pepatah arab yang tertulis
di novel itu. Siapa yang bersungguh-sungguh, maka Ia akan berhasil. Selain itu,
dalam novel itu menceritakan Alif yang berkeinginan kuat untuk menjelajah dunia
dengan bekal yang Ia dapat dari berbahasa asing.Hal ini yang kerap saya ingat
dan menjadi panutan saya bahwa orang kecil seperti saya pun boleh bermimpi jauh
dan tinggi.
Saya yang masih SMP waktu itu,
sangat mudah terpengaruh dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan SMA di
Pesantren juga. Cukup klise memang, namun hal itu yang terjadi pada saya. Saya
akhirnya belajar bahasa asing, melalui percakapan sederhana dan kegiatan
membaca. Selain itu, saya juga akhirnya sedikit kecanduan membaca kisah-kisah
spektakuler dari penulis-penulis ternama lainnya. Saya selalu menyempatkan diri
untuk datang ke perpustakaan kota maupun perpustakaan sekolah. Saya mengingat
buku-buku yang asik saya baca, kisah Tambelo Kembalinya Si Burung Camar karya
Redhite K, atau sekuel kisah cinta Aisyah dan Fahri dalam Novel Ayat-Ayat Cinta
karya Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy), petualangan Raib dan sahabatnya di
dunia paralel dalam sekuel Bumi karangan Tere Liye, perjalanan panjang
Agustinus Wibowo di negara pecahan Uni Soviet dalam bukunya yang bertajuk Garis
Batas atau bahkan sekedar koran-koran harian yang kunikmati di majalah dinding
sekolah. Selain itu, saya juga banyak menyukai buku-buku sejarah, khususnya
sejarah manusia purba seperti buku karangan Y.N. Harari yang berjudul Sapiens:
A Brief History of Humankind, atau sejarah kebudayaan islam serta sejarah
kerajaan Nusantara. Kerajaan Majapahit adalah kisah favorit yang paling saya
gemari. Dari rangkaian buku yang mencekoki isi kepala saya, saya jadi
berangan untuk menjadi penulis.
Saya awali dunia kepenulisan saya
dengan menulis buku diary sejak masa SMA. Saya menyimpan semua buku diary
tersebut hingga hari ini. Saat ini, jika membaca ulang tulisan-tulisan diary
saya ketika masa remaja itu, saya bisa tersenyum geli mengingat tingkah
saya yang banyak gaya. Selain menulis diary, akhirnya saya juga memulai menulis
cerpen-cerpen sederhana, artikel, karya ilmiah, essai dan lain-lainnya. Berkat
pribadi saya yang sedikit melankolis serta latar belakang pendidikan sains yang
pernah saya tempuh, saya bersama dua rekan saya pernah berhasil meraih juara
esai internasional yang bertajuk Love Story in 2050, The fight against
Alzheimer’s disease with CRISPR-Cas9. Is it possible?. Memang bukan hal yang
sangat spektakuler, namun sangat berarti bagi perkembangan menulis saya.
Belakangan ini saya mencoba untuk mengelola blog pribadi saya bertajuk
pengalaman-pengalaman pribadi semasa sekolah hingga saat ini, pengetahuan sains
sederhana, pembelajaran Bahasa Inggris, serta cerita bersambung. Dalam salah satu
mata kuliah di program profesi guru yang saya tempuh juga memberikan ruang
untuk menuliskan hasil pemikirannya dalam sebuah blog. Saya cukup senang dengan
hal itu karena memberikan ruang bagi saya untuk mengasah kemampuan saya.
Melompat ke masa kini, sore ini di
beranda rumah saya, saya kembali membuka diary saya yang saya tulis 10 tahun
silam saat saya SMA. Saya tuliskan besar-besar di buku itu tentang keinginan
saya untuk menjadi seorang penulis buku. Perjalanan panjang yang harus saya
akui bahwa saya belum memberikan cukup ruang bagi diri saya untuk mengembangkan
potensi menulis saya. Hal ini terbukti hingga hari ini saya belum berhasil
menulis buku. Ah, sangat disayangkan. Namun hal ini menjadi penyemangat kembali
bagi saya untuk meneruskan mimpi saya itu.