Senin, 28 Maret 2022

Kripik singkong

              28 Maret 00:56

      Flensburg, Germany



Judul : Laut Bercerita

Penulis : Leila S. Chudori

Cetakan : Pertama, Oktober 2017

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal : x + 379 halaman

ISBN : 978-602-424-694-5


Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali


Gelap adalah bagian dari alam, tetapi jangan sampai kita mencapai titik kelam, karena kelam adalah tanda kita sudah menyerah. Kelam adalah sebuah kepahitan, satu titik ketika kita merasa hidup tak bisa dipertahankan lagi

 

Kematianku tak lebih seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik pada kahir kalimat sajaknya. Atau seperti saat listrik mendadak mati.


Di kampus kita hanya belajar disiplin berpikir, tetapi pengalaman yang memberi daya dalam hidup adalah di lapangan.


Tak semua keluarga harmonis dan menyenangkan seperti keluargamu, Laut. Kau beruntung.


Daniel pun terkadang tak sabar dengan kepolosan anak-anak semester satu yang bacaannya masih minim ─ menunjukkan betapa Daniel atau Tama sering lupa bahwa anak Indonesia tidak tumbuh dengan kebiasaan membaca atau berlatih berpikir kritis.


Terus terang, memang agak repot menghirup sumsum tulang kambing di tempat yang berdesakan seperti itu. Padahal sumsum tengkleng yang sudah bercampur santan cair dan bumbu kunyit, bawang putuh, serta serai itu sama seperti sumsum kehidupan. Nikmat tanpa tandingan.


If your photographs aren't good enough, you're not close enough

Jika foto Anda tidak cukup baik, Anda tidak cukup dekat

~Robert Capa


Naratama mengaku berhasil kabur bersama video yang dicari itu ketka unjuk rasa mulai dibubarkan polisi. Apa sih isi video itu? Ternyata isinya hanya beberapa latihan teater Sang Penyair dengan para buruh pabrik. Sebetulnya tidak berbahaya, tetapi saat itu Sang Penyair dan puisi-puisinya menyababkan pemerintah dan tentara sewot, maka kami merasa apa pun yang bersangkutan dengan Sang Penyair yang bisa membakar aktivis buruh sebaiknya disimpan dulu.


Cinta datang begitu saja, tanpa rencana, tanpa pengumuman. Dia lahir dan tumbuh sebagai reaksi pertemuannya dengan sekuntum bunga…

~Naratama


Mas ceritkan ketika dulu kau melamar Mbak Ariani. Apakah kau menggunakan puisi-puisimu?”

Sang Penyair tertawa kecil. “Tidak. Percintaan Ari dengan aku adalah percintaan yang polos. Kami tak butuh kata-kata, apalagi puisi.”

“Bagaimana kau tahu Mbak Ariani adalah perempuan yang tepat untuk hidup bersama?”

Sang Penyair tampaknya tak menyangka aku bakal melontarkan pertanyaan pribadi seperti itu. Tetapi kelihatannya dia tidak keberatan berbagi. “Ari tidak pernah berharap apa pun dariku. Aku hanya memiliki tubuh dan baju yang melekat ini. Aku tak pernah selesai sekolah, apalagi punya gelar. Modalku hanya hati yang jujur dan daya hidup. Bagi Ari, semangatku memperjuangkan keadilan sudah cukup membuat dia memmutuskan untuk hidup bersamaku selamanya.” 


Aku ingin sekali perempuan tak selalu menjadi korban, menjadi subjek yang ditekan, yang menjadi damsel in distress…

~Anjani


“…

Seonggok jagung di kamar

Tak akan menolong seorang pemuda

Yang pandangan hidupnya berasal dari buku

Dan tidak dari kehidupan…

Aku bertanya:

Apakah gunanya Pendidikan

Bila hanya akan membuat sesroang menjadi asing 

Di tengah kenyataan persoalannya…”

(Rendra, “Sajak Seonggok Jagung”)


“Apa yang sebetulnya kita kejar?”

Kinan mengambil tanganku dan menggenggamnya, “Kekuatan, Laut. Keinginan yang jauh lebih besar untuk tetap bergerak. Ini semua menaikkan militansi kita, bukan memadamkannya.”


“Kita tak selama-lamanya berada di bawah pemerintahan satu orang selama puluhan tahun, Laut. Hanya di negara diktator satu orang bisa memerintah begitu lama… seluruh Indonesia dianggap milik keluarga dan kroninya. Mungkin kita hanya nyamuk-nyamuk pengganggu bagi mereka. Kerikil dalam sepatu mereka. Tapi aku tahu satu hal: kita harus mengguncang mereka. Kita harus mengguncang masyarakat yang pasif, malas, dan putus asa agar mereka mau ikut memperbaiki negeri yang sungguh korup dan berantakan ini, yang sangat tidak menghargai kemanusiaan ini, Laut.”


“Setip langkahmu, langkah kita, apakah terlihat atau tidak, apakah terasa atau tidak, adalah sebuah kontribusi, Laut. Mungkin saja kita keluar dari rezim ini 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi, tapi apa pun yang kamu alami di Blangguan dan Bungurasih adalah sebuah langkah. Sebuah baris dalam puisimu. Sebuah kalimat pertama dari cerita pendekmu…”


“Aku tak tahu apakah aku sudah membuat jejak atau belum selama hidupku.”

“Sudah. Kamu membuat bait pertama dari puisi hidupmu. Kamu melawan.”


Sesekali, aku membayangkan kita berdua bisa keluar dari dunia yang kita kenal ini, meloncat melalui sebuah portal dan masuk ke dimensi lain di mana Indonesia adalah dunia yang (lebih) demokratis daripada sekarang; presiden dipilih berdasarkan pemilu yang betul-betul adil; pilar-pilar lain berfungsi dengan baik: perangkat hukum dan parlemen tidak berada di dalam genggaman seorang diktator dan perangkatnya; pers bisa bebas dan tak memerlukan sebuah departemen yang berpretensi “mengatur” padahal bertugas membungkam. Apakah kita akan pernah hidup dalam Indonesia yang demikian? Indonesia yang tak perlu membuat para aktivis dan mahasiswa yang kritis harus hidup dalam buruan dan sesekali mendapat bantuan dari berbagai orang baik, termasuk Utara Bayu? (hal: 211).


Blangguan 🡺 Situbondo, Jawa Timur 🡺 Aksi Tanam Jagung

Bungurasih 🡺 habis dari kantor DPRD Surabaya 🡺 Mau pulang ke Yogyakarta


Aku tak akan menyadari betapa perempuan pencipta kehidupan, penggerak matahari dan peniup ruh kegairahan hidup

~Laut


Jika aku bisa memutar waktu, aku tak akan jahil dan aku akan menemanimu yang takut akan gelap. Kegelapan yang membuat gerah seperti ini, yang membuat seolah waktu berhenti, memberikan rasa sepi.


Jangan takut kepada gelap. Gelap adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Pada setiap gelap ada terang meski hanya secercah, meski hanya diujung lorong. Tapi menurut Sang Penyair, jangan sampai kita tenggelam pada kekelaman. Kelam adalah lambang kepahitan, keputus-asaan, dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan kekelaman menguasai kita, apalagi menguasai Indonesia.


Dan yang paling berat bagi semua orang tua dan keluarga aktivis yang hilang adalah: insomnia dan ketidakpastian. Kedua orang tuaku tak pernah tidur dan sukar makan karena selalu menanti “Mas Laut muncul di depan pintu dan akan lebih enak makan bersama”.


Menjaga jarak dengan pasien dan menekan emosi adalah salah satu prasyarat bagi kami agar bisa konsentrasi dalam merawat dan mengobati


Di dalam dunia medis, masih banyak hal-hal yang gelap, penyakit yang belum bisa diobatai, tetapi kami selalu bersikap optimistic karena rekan-rekan kami para peneliti terus menerus bergulat mencari obatnya. Harapan itu tetap terjaga karena ada keinginan, kerja keras, dan ilmu yang terus menerus diuji. Sedangkan apa yang kuhadapi sekarang adalah sesuatu yang asing; tak pasti, terus menerus menggerogot rasa optimisme dan kemanusiaan.


Masa-masa Soeharto masih berkuasa yang membiasakan orang untuk mengunci mulut itu menyebabkan mereka semua mengalami trauma besar. “Kita harus bersabar menanti agar mereka mau membuka diri pada saatnya,” kataku pada Aswin.


Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.


“Pak, pak, tolong bantu aduk opornya, Mas Laut maunya santannya tidak pecah…”

Ibu mengangguk-angguk, kini puas dengan rasa gudegnya. “Lebih sempurna masak dengan panci tanah liat ya Pak… yo wis.. ndk apa. Yang penting Mas Laut suka…”


Kegairahan merangkul proses. Itulah yang aku suka dari Alex.

~Asmara


Tak ada yang sempurna di bawah langit.

~Biru Laut Wibisana


“Asmara… kita hidup di negara yang menindas rakyatnya sendiri. Bapak senang berada di antara anaka-anak muda yang mengerti bahwa bergerak, meski hanya selangkah dua langkah, jauh lebih berharga dan penuh harkat daripada berdiam diri.”


Demostrasi kamisan


“Kembali dalam kepompong, karena disana ada Mas Laut, lengkap dengan semua kenangan…”


“Pesannya untukmu diucapakan hanya beberapa saat sebalum dia, Julius, dan Dana dijemput…” Alex berhenti dan menggosok air matanya. “Dan berkata, ‘kalau sampai aku diambil dan tidak kembali, sampaikan pada Asmara, maafkan aku meninggalkan dia ketika bermian petak umpet.”


Malena memegang pipiku dan memandangku dengan lekat. “Aku tahu kamu pasti menganggap rumah sakit sebagai suakamu.”

Aku mengangguk. Dia sungguh tahu diriku melebihi siapa pun.

“Itu harus kau selesaikan. Rumah sakit dan pekerjaanmu sebagai dokter harus kau anggap sebagai rumahmu, sebagaimana rumah orang tuamu juga. Percayalah, perlahan-lahan, ibumu akan menyadari kehadiranmu.”


Ibu tadi bermimpi… rasanya Mas Laut duduk di sini, persis di tempatmu duduk sekarang, di tepi tempat tidur. Dia kelihatan kurus, badannya kok penuh biru lebam, Ibu tanya, ‘Kenapa Nak… kok kamu habis jatuh?’ Mas Laut menjawab, ‘Aku nggak apa-apa Bu, aman, tentrem….’, lalu dia memeluk Ibu sambil bilang, ‘Bu, Ibu jangan melupakan anak ibu satu lagi. Dia butuh Ibu. Bukan hanya Ibu yang butuh dia. Janji ya Bu. Itu anak Ibu satu-satunya sekarang…”


Jika jawaban yang kalian cari tak kunjung datang, jangan menganggap bahwa hidup adalah serangkaian kekalahan. Di dalam upaya yang panjang dan berjilid-jilid itu, pasti ada beberapa langkah yang signifikan.


Sampaikan pada Bapak aku akan selalu memberi pesan melalaui alam: ikan, dedaunan, dan kuncup bunga yang belum mekar

Sampaikan pada Ibu bahwa beliau adalah koki terhebat yang pernah kukenal. Semua bumbu dan resep kupelajari darinya dan jangan berhenti menciptakan resep baru seperti halnya jangan pernah berhenti memulai hal baru tanpa aku. Aku akan selalu ada, tetapi Ibu (dan Bapak) hanya berpisah sementara denganku. Kita pasti akan bertemu lagi suatu hari, entah dalam bentuk apa


Bertemu, berkencan, dan mencintai lelaki lain tak berarti dia berpaling dariku, karena apa pun yang terjadi aku sudah menjadi bagian dari hidupnya.


Asmara, kukirimkan semua pesan ini melalui sayap-sayap ikan pari; melalui bunyi rintik hujan ketika menyentuh tanah dan melalui bunyi kepak burung gereja yang hinggap di jendela kamarmu. Aku yakin kau akan bisa menangkap pesanku, membaca ceritaku. Dan aku percaya kau akan menceritakan kisahku kepada dunia.

Bonus quotes, ‘just for you’

The happiest people don't have the best of everything, they just make the best of everything.


Be like the sun for grace and mercy. Be like the night to cover others' faults. Be like running water for generosity. Be like death for rage and anger. Be like the Earth for modesty. Appear as you are. Be as you appear. ” ~Rumi

“Courage doesn't always roar. Sometimes courage is the quiet voice at the end of the day saying, "I will try again tomorrow. ~Mary Anne Radmacher





Why complain about yesterday, when you can make a better tomorrow by making the most of today?


Author : Mas Laut


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4. Germany Series : Second Batch!

Second Batch : Student Exchange 2018 Aku tidak lolos seleksi student exchange itu, dan teman sekelasku, Khalid, dia lolos! ah itu... sedikit...