Minggu, 20 Februari 2022

Syahid Malarindu

Syahid Malarindu

cerita singkat fiksi 

 Langit oranye menyelimuti tanah kapuas, kota di hulu sungai kapuas. Awan merah muda menggantung di langit langit. Aroma kapuas yang renyah memasuki hidung hingga ke rongga dada. Anak anak berlarian pulang ke rumah mereka masing masing sedang para remaja sedang asyik menyaksikan pengakhiran senja di tepi sungai kapuas. Sungguh indah.

Kucai menyaksikan semua nikmat alam yang Tuhannya anugerahkan kepadanya dengan segenap rasa syukur.”Alhamdulillah ya Allah ..engkau masih memberikan hamba kedua mata yang sehat hingga hamba dapat menyaksikan kebesaranMu” Batin kucai penuh khidmat. “Aduuhh maaf” seorang gadis berjilbab biru muda tiba tiba menabrak Kucai. Gadis itu tampak tergesa-gesa. Apel-apel bawaannya jatuh bergelinding di kayu-kayu dermaga sungai. Sebagian  terjatuh ke sungai. “Maafkan saya..” kata gadis itu sambil memunguti sisa apel yang berceceran. “Tidak apa-apa. Lain kali hati- hati..” gadis itu menunduk tak memperlihatkan wajahnya. Ia berjalan lurus meninggalkan Kucai. Sejurus kemudian gadis itu berbalik arah ,berjalan menuju Kucai. “Ini untukmu” sambil memberikan sebuah apel hijau kemerahan pada Kucai. “Ini dari kebun ayahku. Makanlah. Ini halal” kata gadis berjilbab biru itu. Sejurus kemudian Ia melesat pergi.

Kucai masih tercengang melihat kepergian gadis itu. “Gadis itu...cantik” gumam Kucai ringan. Kucai memandangi apel pemberian gadis itu. Rasanya Ia telah jatuh pada gadis itu. Kucai tak bisa berhenti memikirkannya. Apel itu Ia simpan, tak pernah Ia rela memakannya.

Keesokan harinya, di senja yang sama Ia berdiri di dermaga sungai kapuas. Dalam hatinya menimbun harap seseorang akan menabraknya lagi. Ya gadis yang kemarin baru saja menabraknya. Senja semakin hilang termakan malam hingga akhirnya rembulan benar benar menggantung di sudut langit. Kucai pulang membuang harapnya sore itu.

Keesokan harinya Ia melakukan hal yang sama. Tapi Ia tak pernah lagi melihat gadis itu barang satu kalipun. Suatu sore, Ia tak  datang ke dermaga. Ia merasa lelah sekali setelah bekerja seharian di perkebunan sawit. Tapi hatinya ingin sekali melangkah pergi ke dermaga yang jaraknya hanya seratus meter dari rumahnya. Senja hampir saja pergi, sebelum akhirnya Ia berhasil mengalahkan rasa penatnya dan pergi ke dermaga.

Sore itu, sepuluh detik sebelum Kucai benar-benar tiba di dermaga, sebuah kapal feri baru saja melaju kencang. “Mengangkut apa kapal itu pak, kok ya malam-malam begini?” tanya Kucai pada seorang penjaga warung kopi. “Ooh itu. Kalo feri yang itu khusus malam ini tidak mengangkut barang. Tapi mengantarkan putri bungsu juragan tarjo ke pelabuhan. Katanya dia mau pulang ke aceh” “Putri juragan tarjo? Ko saya ga pernah tau ya pak” “Ya iyalah kamu gak tau cai, dia itu anak pingitan. Pernah sekali keluar hanya untuk memberi apel kepada ayahnya di perkebunan. Mungkin hanya sekali itu aku melihatnya berkeliaran di jalan. Selebihnya aku tak lagi pernah melihatnya”

Kucai terdiam. Hatinya kaku tak tau harus merespon keadaan. “Mungkinkah...dia gadis yang menabrakku sebulan lalu?” tanyanya dalam hati. Ia memandangi very yang melaju semakin jauh. Ia tak melihat sesosok gadis berdiri di Feri itu. Sungguh hatinya tak mau mengakui bahwa gadis itu telah pergi, mungkin untuk selamanya. “Aceh..itu daratan yang sangat jauh dari tanah ini.” Kucai tertunduk menatap sepatunya. Ia teringat sebuah apel  pernah menggelinding menabrak sepatunya. Kucai tersenyum tipis. “Aku bahagia..karena bertemu denganmu. Siapapun kamu, dimanapun kamu aku percaya jika kita berjodoh, suatu hari kita pasti bertemu” batinnya mengharap.

Setelah hari itu Kucai masih saja menunggu kedatangan gadis itu di ujung dermaga senja. Menanti malam sambil menimbun rindu yang tak kunjung usai. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, setahun, tiga tahun berlalu. Rupanya Kucai masih menunggu gadis itu. Ia tak kunjung mau membuka hatinya untuk gadis lain manapun.

“Apa yang aku tunggu disini? gadis itu? kalaupun dia kembali ke tanah Borneo ini, jelas Ia tak akan memilihku. Laki-laki kumal yang hanya buruh di kebun sawit. Tapi…” Logikanya menyerang gigih penantiannya di ujung dermaga.
“Tidak mengapa, kalaupun dia tidak memilihku, itu bukan masalah. Aku hanya ingin sekali saja melihatnya, sekali saja seumur hidupku. Meski itu hanya ujung jilbabnya dari belakang punggung nya, sungguh tak mengapa. Aku hanya ingin mengobati sesak rinduku di ulu hati yang kian hari kian memasuki stadium akhir” Hatinya menenangkan, menolak perdebatan dengan logikanya. 

Suatu hari, Kucai tak lagi datang ke ujung dermaga. Kucai sakit keras. Berbulan bulan lamanya Ia terbaring di kasur lapuknya. Telah banyak dokter dan dukun dipanggil ke rumahnya untuk sekedar memeriksa Kucai. Tapi semua diagnosa dokter tak pernah tepat. Dukun pun tak mujarab bagi penyakit Kucai. Entah penyakit apa yang diderita Kucai.

“kau kenapa anakku?” tanya seorang Kyai yang juga dipanggil ke rumah Kucai. Kucai terdiam tak berdaya. Ia tak punya cukup tenaga barang sekedar untuk menggerakkan dua bibirnya. “raga anak ini sehat. Tak satupun penyakit menempel di raganya. Tapi hatinya sedang meradang. Ia terkena rindu akut menahun” kata sang Kyai pada ibunda Kucai. Ibunda Kucai tak kuasa menahan tangisnya. “anakku siapa yang kau rindukan? Siapakah gerangan yang tak kunjung kau temui anakku” Kucai tersenyum. Air matanya meleleh di sudut matanya. Ia merangkul pelukan ibundanya. “ Ibu. Kucai sangat merindukan seorang gadis yang akan Kucai peluk di surga nanti” setelah kalimat itu terlepas dari mulut Kucai. Akhirnya Kucai tak terbangun lagi. Matanya yang sayu menutup selamanya. Wajahnya cerah seolah baru terbasuh air wudhu. Bibirnya tersenyum seolah sangat bahagia karena Ia akan segera menjemput kekasih hatinya yang selama ini dinantinya.”Innalillahi wa Innailaihiraji'un” tangis ibunda Kucai pun melengking.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

4. Germany Series : Second Batch!

Second Batch : Student Exchange 2018 Aku tidak lolos seleksi student exchange itu, dan teman sekelasku, Khalid, dia lolos! ah itu... sedikit...